Palangkaraya Darurat Asap!

Palangkaraya Darurat Asap!

ACTNews, PALANGKARAYA – Kabut asap akibat pembakaran hutan di Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah (Kalteng) kian hri kian membahayakan warga. Telah dua bln lebih kabut asap menyelimuti Kota Palangkaraya. Penduduk Palangkaraya menanti langkah signifikan pemerintah dalam penanganan bencana tahunan yg makin tidak sedikit menelan korban ini.

ACT bekerja sama-sama bersama Warga Relawan Indonesia/MRI Kalteng & Kampus Palangkaraya, dalam tindakan simpati darurat asap, minggu(11/10) di bundaran gede pusat Kota Palangkaraya mendesak pemerintah buat serentak laksanakan langkah-langkah kongkrit & sistematis utk menangani bencana kabut asap di Kalimantan & Sumatera terutama di wilayaah Kalteng.

Hri Mukti, Ketua MRI Kalteng menegaskan, MRI menggandeng penduduk Palangkaraya menyebutkan sikap pada pemerintah terkait bencana asap.”Masyarakat Palangkaraya telah dua bln terpaksa menghisap hawa yg membahayakan kesehatan, kiranya warga telah saatnya bersikap utk menekan pemerintah pusat biar serta-merta menuntaskan permasalahan ini,” ujarnya.

Simultan bersama perbuatan simpati ini, ACT membagikan ribuan masker N-95 & mensosialisasikan panduan buat mengurangi efek risiko kabut asap bagi kesehatan. Perbuatan yg digelar ketika CFD Kota Palangkaraya tersebut menyedot ribuan simpatisan spontan yg antusias & menerima masker N-95 yg dibagikan free. Warga menyimak penjelasan trik mengurangi risiko bahaya asap bagi kesehatan.

Surya (36) masyarakat Palangkaraya teramat mengapresiasi perbuatan ini. Tuturnya penduduk Palangkaraya amat sangat menantikan perbuatan nyata seperti ini. “Luar biasa, baru kali ini ada yg membagikan masker N-95 dengan cara gratis buat penduduk Palangkaraya, mudah-mudahan perbuatan seperti ini serentak diikuti oleh pihak-pihak lain baik pemerintah ataupun swasta,” papar Surya.

Hri Mukti menuturkan, benar-benar tatkala dua bln kabut asap warga Palangkaraya minim pertolongan.”Kami dapat tetap merespon bencana kabut asap ini, baik bersama pembagian masker, menampung aspirasi warga, layanan kesehatan sampai melaksanakan pemadaman di sekian banyak ruangan,”. Kata Hri Mukti.

Kala disinggung keadaan hawa dikala ini di Palangkaraya Hri Mukti memaparkan waktu ini hawa di Kota ini teramat berbahaya bagi kesehatan. “Terakhir kepada pukul 17 : 00 WIB, Sabtu (10/10) berada di angka 1.832,63 mi-krogram/m3. Kami khawatir kejadian sekian banyak pekan dulu berulang. Fokus PM10 melebihi angka 2000.Fokus PM10 di atas 2000 menunjukkan mutu hawa yg teramat berbahaya,” urai Hri. Jelasnya, capaian di angka ini telah 12 kali lipat dari nilai ambang batas (NAB).

Kala ini tim ACT dengan MRI Kalteng selain merespon aksi-aksi sosial, jalur koordinasi bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika & BPBD Palangkaraya serta tetap dibangun buat memudahkan penanganan bencana kabut asap. Kusmayadi, Komandan Tanggap Darurat ACT menegaskan, timnya dapat konsisten mengawal & menolong pemerintah dalam menyelesaikan bencana kabut asap. “Tidak cuma di Palangkaraya, kami mendirikan posko pertolongan kemanusiaan di 6 Kota terdampak kabut asap. Kami bakal tetap mendampingi & menolong pemerintah dalam penanganan bencana tahunan ini,” kata Kusmayadi. (ding)‎

Darurat-asap

Syrian refugees in Greece : Perjuangan Berat demi Melanjutkan Hidup

Pengungsi Suriah di Yunani

Di antara kepungan asap yang membubung di Indonesia, kabar tentang beratnya derita perjuangan hidup pengungsi Suriah masih harus tetap dipantau. Kemanusiaan tak boleh mengenal kata luput, tak boleh dilupakan. Ketua Tim SOS Syiria – ACT yang diterjunkan ke Jerman, Hastrini Nawir, kembali membawa cerita dari Jerman. Usai mengamati dinamika penanganan pengungsi Suriah di Jerman, Ia memandang penanganan di Jerman relatif baik dibanding pengungsian di negara lainnya di Eropa.

Fenomena gelombang pengungsian ke Yunani mendorongnya menuju negeri kelahiran filsuf Barat dan asal mitologi dunia. Di Yunani, tepatnya ke pulau Lesvos. Hastri menjejakkan kakinya, mendengar keluh kesah dari perjuangan berat pengungsi Suriah. Berikut lanjutan kisanya, ditulis di sela panjajakan wilayah distribusi bantuan kemanusiaan.

Pagi-pagi pada 6 Oktober 2015, Saya, Kevin (relawan lokal), Yopi (warga Indonesia yang tinggal di Jerman) dan George (pengemudi), mendarat di bandara Mytilini, pulau Lesvos, Yunani. Dari Athena kami menggunakan pesawat kecil – mengingatkan saya penerbangan saat dari Medan ke Lhokseumawe, ke pulau Lesvos ini. Di sini hampir bisa dikatakan tidak ada transportasi umum. Para pengunjung biasanya menyewa kendaraan atau naik taksi. Dari bandara kami naik taksi menuju penginapan yang berjarak 10 kilometeran. Di perjalanan kami melewati pelabuhan Mytilini. Setiap hari kapal besar di pelabuhan mengantarkan ribuan pengungsi ke Athena untuk kemudian bisa melanjutkan perjalananya ke utara Eropa, negara tujuan umumnya Jerman dan Swedia.

Di perjalanan, saya saksikan rombongan pejalan kaki, cukup banyak, berarakan. Saya baru sadar beberapa saat, mereka para pengungsi Suriah yang berjalan kaki dari tempat mereka berlabuh ke kamp pengungsian. Mereka berjalan berkilo-kilometer, menurut informasi, mereka berjalan kadang sampai beberapa hari.

Di kamp mereka menjalani proses registrasi untuk bisa dikirim ke Athena dengan kapal dari pelabuhan Mytiline. Sebenarnya ada beberapa bus yang disediakan untuk mengangkut para pengungsi dari pantai tempat mereka berlabuh menuju kamp pengungsian, tapi jumlah bus yang terbatas tidak sebanding dengan jumlah pengungsi yang mencapai ribuan setiap harinya. Maka mereka memilih berjalan kaki ketimbang menunggu bus hingga beberapa hari lamanya.

Kondisi para pengungsi yang berjalan kaki, menyedihkan. Mereka dengan sisa tenaganya perlahan menuju kamp untuk mendaftar. Kiri-kanan beberapa kali bersua warga setempat, akan tetapi para penduduk lokal dilarang membantu mereka. Siapa yang kepergok membantu pengungsi, mereka bisa ditangkap polisi. Di Mytilini ini, turis, penduduk setempat dan juga pengungsi, saling bertemu dan saling memandang tanpa ada interaksi. Bahkan, antar mereka, tidak tahu-menahu satu sama lain, bersibuk diri dengan urusannya. Pengungsian ini menjadi ironi di pulau Lesvos, pulau wisata yang banyak dikunjungi turis.

Meski begitu, pulau ini juga menjadi ‘titik transit’ ribuan pengungsi Suriah. Menurut seorang pengemudi setempat, kebanyakan penduduk Lesvos tidak tahu bagaimana situasi pengungsi di dalam kamp. Bahkan pengemudi lokal yang saya ajak berbincang tadi, baru pertama kalinya masuk ke kamp pengungsian.

Di Lesvos ada dua kamp: Moria dan Kara Tepe. Kara Tepe dihuni para pengungsi Suriah. Umumnya pengungsi Suriah yang ada di kamp Kara Tepa, orang kaya (membawa banyak uang), sedangkan pengungsi yang di Moria lebih memprihatinkan, tak ada uang (awalnya mereka membawa uang, disimpan dalam tas yang mereka simpan di perahu. Saat perahu mulai sesak, terpaksa sejumlah barang dikeluarkan, termasuk tas uang mereka ikut terbuang).

Hari pertama di Lesvos, saya ditemani relawan dan pengemudi lokal, mengunjungi kamp Kara Tepe. Kami diizinkan masuk karena ditemani Kevin, dokter yang bergerak ke tiap-tiap kamp. “Dia bersama saya,” kata Kevin kepada petugas lokal penjaga migran. Di kamp ini saya mengunjungi tenda UNHCR, di tempat pengungsi menanti giliran registrasi. Tanpa tengok kiri-kanan, saya main motret saja. Tiba-tiba seorang pengungsi menegur keras, keberatan dipotret. “Hapus semua foto-foto Anda,” bentaknya dengan wajah merah-padam sembari tangannya bergerak hendak meraih handphone saya. Saya terkejut sejenak, lalu segera menguasai diri dan minta maaf. Untung ada George, pengemudi lokal yang menemani saya, sehingga insiden itu lekas berakhir.

Beruntung, sebelum kejadian itu saya sudah berkenalan secara formal dengan sejumlah pegiat kemanusiaan dari UNHCR, MDM, MSF (Médecins Sans Frontières, Dokter Lintas Batas), beberapa relawan dari Norwegia maupun sejumlah negara Eropa yang hadir secara personal (tidak atas nama lembaga).

Di kamp yang dikelola UNHCR ini saya mendaftarkan ACT sebagai salah satu NGO yang terlibat dalam penanganan pengungsi di Mytilini, dan ACT siap terlibat dalam kerja penanganan pengungsi di Mylitini hingga puluhan ribu pengungsi ini bisa berada dalam kondisi kehidupan yang lebih layak di lokasi yang sudah ditentukan oleh kebijakan Uni Eropa. (hastri)

LetsHelpSyria

Aceh Direndam Banjir Saat Musim Kemarau

Suatu kenyataan unik tapi ironis berjalan di Propinsi paling barat Indonesia. Kalasebahagian agung wilayah Sumatera dikepung oleh derita kekeringan & kebakaran hutan, ditambah lagi dgn kepungan kabut asap yg tidak ada henti, justru PropinsiNangroe Aceh Darussalam diterjang banjir. Sebuah kenyataan yg susah dinalardikarenakan ternyata, nyaris seluruhnya wilayah Indonesia di bln September inimasihlah dalam suasana periode kemarau panjang.

Tetapi bencana banjir nyata-nyatanya betul-betul berjalan di Aceh. Dilaporkan daripage Mongabay, ribuan rumah masyarakat di Kab Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, & Kota Langsa dihantam oleh terjangan banjir bandang akibat meluapnyasebanyak ruas sungai yg melintasi wilayah tersebut. Akibat luapan sungai di wilayah Aceh direndam banjir paling parah berjalan di Aceh Utara. Sejak akhir blnSeptember 2015 dulu, banjir bandang merendam sebahagian agung rumah & lahan pertanian masyarakat di Kecamatan Lhoksukon, Matangkuli, Cot Girek, & Pirak Timu.

Mirisnya lagi, bencana banjir di Aceh dalam setahun sanggup berlangsung tigasampai empat kali. Tidak cuma merendam rumah, beberapa ratus hektare sawah &pertanian milik penduduk tidak sukses panen. Bencana banjir ini jadi cobaan ke-2bagi para petani, sesudah diawal mulanya tidak berhasil panen akibat kemarau,sekarang pertanian kembali tidak berhasil panen lagi dikarenakan bencana banjir merendam aceh. Dikutip dari Mongabay, ketinggian air setinggi 50 – 100 centi meter.

Lantas, apa sesungguhnya yg jadi penyebab dari bencana banjir Aceh ini? Berikutyaitu 3 argumen kenapa di periode kemarau ini justru bencana banjir malah merendam wilayah Aceh :

Banjir yg berlangsung di Aceh merupakan akibat dari maraknya pembukaan hutan

Berdasarkan penjelasan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, segala macam bencana alam berupa banjir, tanah longsor, ataupun kekeringan ygmelanda Aceh merupakan akibat maraknya pembukaan hutan. Menurut catatan Walhi, Aceh yaitu salah satu daerah di Indonesia yg mengalami kerusakan hutanlumayan parah. Hutan di buka tidak dengan kendali sampai menyebabkan sumber penampungan air menghilang. Akibatnya kalau hujan sedikit saja air dari sungaibakal meluap & menggenangi tidak sedikit wilayah, dulu saat tiada hujan tatkalaberminggu-minsggu, sehingga dapat cepat memicu kekeringan. Sampai hri ini, Walhi masihlah mengkritik tidak adanya kebijakan yg berpihak terhadap penataan kembali bagian kehutanan.

Banjir di Aceh berjalan akibat metode pembangunan yg tak ramah lingkungan

Satu kritikan lagi utk Pemerintah Aceh dalam kasus banjir di Aceh yakni minimnya aturan yg efektif dalam metode pembangunan. Penanganan pada bencana banjir di Aceh tidak dipikirkan dengan cara matang. Biaya yg gede, tenaga yg tidak sedikit,& resiko psikologis pasca terjadinya bencana banjir di Aceh tidak senantiasadipikirkan matang oleh Pemerintah Aceh.

(cal)  img : mongabay.com

Sumber